Andai kita menjadi seorang kepala sekolah dan memiliki murid-murid yang kategori ekonominya kurang mampu, apa yang akan kita lakukan agar mereka bisa tetap sekolah tetapi manajemen sekolah pun bisa tetap berjalan? Pastinya kita harus memutar otak dengan sangat keras agar sekolah dan anak-anak dapat terselamatkan keduanya.
Contoh kasus seperti di atas pernah dialami oleh seorang kepala sekolah muda di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Ia bernama Muhammad Farid, Kepala Sekolah di SMP Alam Banyuwangi Islamic School (BIS).
Muhammad Farid memiliki siswa dengan latar ekonomi orang tua yang beragam, namun rata-rata kurang mampu. Maka di sekolahnya ia membuat kebijakan bahwa anak-anak yang tidak mampu boleh tidak membayar sekolah atau bisa membayarnya dengan sayur.
Kenapa sayur? Karena sosok kepala sekolah ini ingin menjadikan sayur sebagai media yang membuat anak-anak tidak hanya terpenuhi haknya untuk makan sehat dan bergizi, tetapi juga memiliki kesempatan untuk terus belajar di sekolah. Maka buatlah ia program Sayur untuk Sekolah, sebuah gerakan unik dan luar biasa yang membawanya mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Award pada tahun 2010.
Gerakan Sayur untuk Sekolah dari Muhammad Farid
Banyuwangi adalah wilayah kabupaten terluas di pulau Jawa dengan sektor pertanian sebagai salah satu penyokong ekonomi di sana. Nan jauh di salah satu pelosok kampung di Banyuwangi lahirlah seorang anak laki-laki yang ketika tumbuh dewasa memiliki ketertarikan pada dunia pendidikan.
Ialah Muhammad Farid yang lahir dari orang tua yang bekerja sebagai petani. Ketika dewasa ia melihat sesuatu yang miris di tanah kelahirannya di mana tanahnya sangat subur menghasilkan tanaman dan sayuran berkualitas namun banyak anak yang tumbuh dalam kondisi kurang nutrisi. Kondisi ini semakin memburuk karena berimbas pada dunia pendidikan, di mana anak-anak menjadi kurang fokus, cepat lelah dan kurang berkonsentrasi ketika mengikuti pelajaran sekolah.
Muhammad Farid menyimpulkan kondisi yang terjadi pada anak-anak ini karena kekurangan asupan gizi. Ini terjadi karena keterbatasan ekonomi orang tua mereka yang akhirnya lebih memilih untuk menjual hasil seluruh panen di ladang atau kebun yang tak seberapa tanpa menyisakan untuk konsumsi keluarga.
Dengan kondisi demikian lahirlah gagasan Sayur untuk Sekolah di mana anak-anak yang idak mampu membayar iuran sekolah bisa menggantinya dengan membawa sebagian kecil sayur yang ditanam orang tua mereka. Sayuran yang dibawa ke sekolah kemudian diolah untuk dinikmati bersama-sama untuk memenuhi salah satu asupan gizi berupa serat yang bisa didapatkan dari dedaunan sayuran.
Dari Membayar Sekolah dengan Sayur Sampai Belajar Menanamnya
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Muhammad Farid adalah tentang keberlanjutan dari program Sayur untuk Sekolah ini. Ia ingin anak-anak terus menerus terpenuhi haknya untuk bisa mengonsumsi sayuran setiap harinya. Maka tercetuslah ide baru di benak Kepala Sekolah ini.
Bagaimana kalau anak-anak sekolah bisa ikut menanam sayur sendiri, lalu menikmatinya untuk kebutuhan gizi mereka sehari-hari?
Dari ide cemerlang ini kemudian Muhammad Farid bermusyawarah dengan para pengajar dan Komite Sekolah untuk meramu kurikulum yang kreatif dan sesuai. Selanjutnya setelah disepakati ia mulai mengeksekusi program menanam sayur di sekolah ini dengan mengajak anak-anak membuat kebun kecil di setiap kelas mereka yang kemudian ditanami dengan bibit-bibit sayuran.
Di sekolah alam yang ia kelola anak-anak didiknya mendapatkan keterampilan tentang tata cara menanam tanaman mulai dari mencangkul, menanam bibit, sampai memanennya bersama-sama. Hasil panen dari kebun mereka kemudian diolah dan dinikmati bersama-sama dengan harapan besar mereka bisa terpenuhi gizi tambahan untuk tumbuh kembang yang optimal pada tubuh dan otak mereka.
Hikmah lain dari adanya program menanam sayur di Sekolah ini adalah semakin baiknya sinergi sekolah dengan para orang tua atau wali siswa, karena memang dalam prosesnya sekolah bekerja sama dengan para orang tua yang berprofesi sebagai petani untuk ikut mengajarkan anak-anak cara menanam tanaman dengan baik.
Dinamika Program Sayur untuk Sekolah
Perjalanan Muhammad Farid dalam menjalankan program Sayur untuk Sekolah mengalami pasang surut dalam prosesnya. Namun ia tetap optimis dengan gagasannya dan yakin bisa berhasil untuk dilaksanakan secara berkelanjutan.
1. Proses Edukasi Kepada Orang Tua Siswa
Salah satu tantangan yang harus dihadapinya adalah dari sebagian para orang tua siswa di sekolah yang ia kelola. Ada sebagian orang tua yang beranggapan bahwa sekolah adalah tempat belajar di kelas, bukan belajar bertani.
Muhammad Farid tak menyerah. Ia melakukan pendekatan dan edukasi untuk para orang tua tentang ide mulianya yang ingin anak-anak terpenuhi asupan gizinya. Lambat laun para orang tua mulai merasa yakin dan mendukung program ini apalagi setelah mereka juga dilibatkan dalam menjalankan programnya dan juga hasil dari panen tersebut selain dikonsumsi oleh anak-anak ada juga sebagian yang dibawa ke rumah mereka.
2. Keterbatasan Dana
Tantangan klasik yang biasa dihadapi oleh sekolah swasta yang memiliki mayoritas siswa dengan ekonomi orang tua yang kurang mampu adalah dalam masalah pendanaan. Ini juga dialami oleh Muhammad Farid ketika akan menjalankan program Sayur untuk sekolah ini.
Namun kegigihan Muhammad Farid sebagai kepala sekolah memang patut diacungi jempol. Ia berpikir keras untuk mendapatkan alternatif solusi dengan mencari dukungan pada komunitas lokal, pemerintah setempat, sampai lembaga swasta yang berelasi dengan dunia pertanian.
Buah dari Program Sayur untuk Sekolah
Setelah melewati dinamika perjalanan yang lumayan menantang, perlahan tapi pasti hasil dari kerja keras dan ide cerdas Muhammad Faris mulai menampakkan hasil. Yang paling jelas terasakan adalah anak-anak didik jauh lebih sehat dan berbanding lurus dengan meningkatnya prestasi mereka di sekolah.
Sinergi sekolah pun semakin kuat dengan berbagai pihak, baik dengan orang tua atau wali siswa melalui komite sekolah, pemerintah setempat, komunitas lokal, sampai lembaga dan atau perusahaan swasta pun terjalin dengan baik di program Sayur untuk Sekolah. Semua bahu membahu menciptakan suasana sekolah yang hijau melalui program menanam sayur di sekolah.
Yang juga cukup dibanggakan oleh Muhammad Farid oleh proses pendidikan karakter pada anak-anak didiknya. Mereka belajar untuk tanggung jawab, kebersamaan dan gotong royong dalam menjaga kebun mini mereka di depan kelas masing-masing.
sumber: https://www.antarafoto.com/
Buah manis yang juga dirasakan oleh Muhammad Farid dari program Sayur untuk Sekolah ini adalah dengan dianugerahinya ia sebagai salah satu penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra pada tahun 2010. Penghargaan ini adalah bentuk apresiasi dari Astra untuk para pemuda Indonesia yang memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat di sekitarnya.
Muhammad Farid berharap dengan penghargaan ini bisa memantik para pemuda lainnya untuk sama-sama berkolaborasi menciptakan atmosfer sekolah yang sehat dengan konsep menanam sayuran di sekolah.
Penghargaan ini bukan hanya sebuah piala atau piagam, melainkan penguat semangat. Saya merasa perjuangan ini tidak sia-sia. Saya ingin agar program ini bisa direplikasi di banyak tempat lain di Indonesia.
Yuk Bergerak untuk Indonesia
Keberhasilan Muhammad Farid dalam menjalankan program Sayur untuk Sekolah sejatinya bisa menjadi cermin untuk kita semua bahwa ketika ide yang kita miliki dengan jalankan dengan maksimal maka hasilnya pun akan kita nikmati dengan manis.
Bagi saya pribadi yang bergerak di dunia pendidikan, kisah Muhammad Farid memberikan inspirasi untuk menjalankan misi serupa. Anak-anak di pesantren dan sekolah yang keluarga kami kelola menerapkan juga pembelajaran di luar kelas berupa keterampilan bercocok tanam.
Mudah-mudahan suatu saat bisa berkolaborasi dengan sosok Muhammad Farid untuk lebih memaksimalkan lagi program yang sudah berjalan dan memanen masa depan yang cerah di kemudian hari. Aamiin.
Posting Komentar